Piknik dengan keluarga besar saya tidaklah terlalu menyenangkan (anak durhaka!). Why oh why? Biasanya mereka lebih suka menghabiskan waktu di tempat-tempat wisata dengan berfoto-foto ria berbagai macam pose (over narcism), dengan background yang kadang ga penting (tepok jidat) dan kalau sudah bosan foto-foto mereka selalu ingin cepat-cepat pulang. Apakah nenek moyang saya mempunyai sindrom narsiscus sehingga keturunannya menjadi seperti ini? (*abaikan). Tentu saja hal ini membuat saya yang suka blusak-blusuk menjadi kurang puas untuk mengeksplore suatu tempat, karena saya biasanya tidak suka cepat-cepat pulang sebelum benar-benar puas 😀 . Salah satunya terjadi ketika kami mengunjungi benteng van der wijck di gombong.
Sebenarnya sih kami memang tidak bermaksud mengunjungi benteng ini karena tujuan utama kami ke gombong adalah “nyekar” nenek moyang tercinta. Hanya karena kebetulan kami lewat benteng tersebut, maka saya meminta dengan paksa ayah saya untuk mampir (Salah saya dong berarti? 😀 ) .
Saya pernah membaca dan melihat foto-foto tentang benteng van der wijck dari berbagai macam blog. Oleh karenanya saya sangat ingin ke tempat ini. Menurut saya tempat ini unik, terutama bagi para fotografer yang menyukai set ala jaman kolonial. Benteng van der wijck yang dibangun tahun 1818 ini seluruh tembok luarnya bercat merah menyala, berbeda dengan benteng-benteng lain yang ada di Indonesia yang warnanya cenderung kalem. Benteng berbentuk persegi delapan dan bertingkat dua ini mempunyai luas sekitar 3000 meter persegi serta mempunyai ratusan ruang di dalamnya. Beberapa ruang di dekat pintu masuk utama saat ini digunakan sebagai museum tentang sejarah benteng ini sendiri, dan terdapat pula sebuah ruangan untuk memajang foto-foto bupati kebumen dari awal sampai akhir. Selepasnya ruangan-ruangan lain dibiarkan kosong begitu saja, ditumbuhi lumut di sudut-sudutnya dan tidak begitu terawat. Saya jadi membayangkan betapa seramnya benteng ini di malam hari (hiiy).
Hal lain yang menarik dari benteng ini adalah pengunjung dapat menaiki kereta yang berada di atap benteng, mengitari sudut-sudut oktagonalnya. Sayang karena hari itu bukan hari sabtu dan minggu, lantai teratas tempat kereta ini berada ditutup untuk pengunjung. Saya jadi tidak bisa mengabadikan foto benteng ini dengan maksimal, karena hanya dari lantai teratas saya bisa mengambil gambar sisi dalam benteng secara menyeluruh. Saya juga tidak sempat untuk masuk ke museumnya, karena keluarga besar saya harus segera beranjak dari sana 😦 . Ingin rasanya suatu saat bisa kembali ke tempat ini dengan persenjataan kamera yang lebih canggih, mengeksplore setiap detil sudut-sudutnya dan tentu saja tidak bersama keluarga saya :P.
Ping-balik: Benteng Pendem Ambarawa Nan Misterius | Kelanakecil