Catatan perjalanan ke Fakfak #1 : Cerita dari dalam taksi Fakfak menuju Kokas

Setelah kurang lebih 12 jam berada di udara plus transit di 3 bandara, akhirnya pagi itu saya sampai di kota Fakfak, Papua Barat. Saya dan rekan-rekan saya terbang dengan pesawat ATR berbaling-baling milik maskapai wings air, satu-satunya pesawat yang beroperasi ke bandara Torea ,kota Fakfak. Perjalanan ini adalah bagian dari tugas penelitian lapangan, setelah berbulan-bulan saya absen. Yeaa! back to work! Saya excited sekali mengelilingi Indonesia lagi apalagi ke Papua. Papua yang merupakan surga kecil jatuh ke Bumi dan menyimpan banyak misteri 🙂 .

Salah satu sudut kota Fakfak. Kota di pinggir laut yang konturnya berbukit-bukit.

Salah satu sudut kota Fakfak. Kota di pinggir laut yang konturnya berbukit-bukit.

Dari bandara Torea kami dijemput oleh sekumpulan taksi. Jangan salah ya, taksi di sini adalah angkutan umum L 300 atau carry. Taksi yang kami sewa bertrayek Fakfak – Kokas. Kami hanya singgah sebentar di kota Fakfak yang berbukit-bukit ini. Tujuan utama kami adalah ke distrik kokas yang letaknya sekitar 50 km dari kota. Fakfak merupakan salah satu kabupaten termaju di Papua terutama di bidang infrastruktur. Jalan raya umum dari kota Fakfak ke distrik Kokas sudah beraspal, meskipun di beberapa bagian jalan ada yang berlubang dan terkena bekas longsor. Saya menaiki salah satu taksi di sebelah pak supir yang berasal dari Jawa. Sebut saja namanya pakdhe. Pakdhe sudah berada di Fakfak sekitar 7 tahun dan Ia merasa bahagia tinggal dan bekerja di sini. Ia bilang ketika bekerja di Jakarta, ia tidak mendapatkan apa-apa alias susah cari duit, sedangkan di sini peghasilannya lumayan sebagai sopir taksi. Keluarganya tetap tinggal di Jawa dan ia hanya sesekali pulang kampung. Ia bercerita kalau di sini tidak ada jarak antara orang pemerintahan seperti pak distrik (camat) atau kapolsek dengan masyarakat. Masyarakat bisa nongkrong dan ngobrol santai dengan mereka, serta saling bertukar pikiran.Tidak seperti di Jawa, katanya. Di Jawa terasa ada jarak.

Jalanan menuju kokas yang tampak lengang dan sepi membelah hutan

Jalanan menuju kokas yang tampak lengang dan sepi membelah hutan

Selepas kota Fakfak jalan yang kami lewati berubah menjadi hutan belantara tak berbatas. Benar-benar cuma hutan dan tidak ada rumah satupun. Saya tidak bisa membayangkan kalau terjadi apa-apa di jalan saat malam hari atau saat sepi, siapa yang bisa menolong. Terkadang ada binatang liar seperti babi hutan atau rusa melintas di jalan, jadi pengemudi harus benar-benar berhati-hati. Pakdhe kemudian bercerita lagi tentang kebiasaan orang lokal yang ketika mereka marah, mereka akan menebang kayu besar dan menghalangi jalan aspal. Meskipun marahnya terhadap keluarga sendiri. Ketika ada kayu besar melintang biasanya taksi dan mobil akan  sabar menunggu sampai kayu tersebut disingkirkan. Bisa menunggu sampai berjam-jam, katanya dengan santai. Benar-benar cara marah yang aneh, batin saya. Marahnya ke siapa, efeknya ke orang lain. Tetapi memang begitulah orang Fakfak, sekali marah, tebang pohon besar. Kalau di Jawa ada yang seperti ini pasti sudah heboh masuk berita. Di Fakfak termasuk hal yang biasa saja. Untung saja pas kami lewat pas tidak ada orang marah-marah 😀 . Pakdhe juga bercerita kalau pohon-pohon besar yang ditebang berupa kayu sengon dan kayu yang bernilai ekonomis di Jawa. Di Jawa mahal dan laku di jual, di sini cuma dibuang-buang, katanya. Indonesia memang paradoks, batin saya, masing-masing daerah memiliki keunikan dan keunggulan masing-masing, tetapi terkadang belum bisa saling menutupi dan membantu. Coba saja kalau kayu-kayu tersebut dimanfaatkan di daerah lain, mungkin akan lebih berguna.

Bunga pala yang dijemur di pinggir jalan

Bunga pala yang dijemur di pinggir jalan

air terjun kayuni

air terjun kayuni

Selamat datang di kokas!

Selamat datang di kokas!

Taksi melaju dengan lancar, bebas hambatan dan tanpa macet, memasuki sebuah distrik yang mempunyai sebuah air terjun di pinggir jalan. Kami berhenti sebentar untuk sekedar beristirahat dan foto-foto. Namanya adalah air terjun kayuni. Kami hanya bisa menikmati air terjun ini dari jarak beberapa puluh meter saja. Tampaknya air terjun itu menjadi waterboom bagi anak-anak kampung setempat. Di sepinggir jalan aspal, tampak sesuatu berwarna merah dijemur diatas alas karung. Pakdhe bilang itu adalah bunga pala yang sebenarnya adalah selaput biji pala yang merukapan komoditas utama kabupaten Fakfak. Hanya dengan dua sampai tiga kali panen pala dalam setahun, masyarakat Fakfak bisa menghidupi keluarga selama setahun. Terbayanglah di benak saya betapa mahal harga rempah-rempah tersebut di sana. Saya excited untuk mendengar lebih banyak lagi cerita tentang pala di Fakfak. Setelah sepanjang jalan hanya melihat hutan lebat, dari dalam taksi saya bisa melihat lautan lagi. Sampailah kami di kokas. Saya akan tinggal di distrik ini selama seminggu.

7 Komentar

Filed under Keliling Indonesia

7 responses to “Catatan perjalanan ke Fakfak #1 : Cerita dari dalam taksi Fakfak menuju Kokas

  1. AIR TERJUN!? Mbak cerita2 dong nyewa L300 itu habis berapa? terus dari Jakarta ke Kokas pindah2 transportasinya gimana? hehehe. :p

    • Iya air terjun di pinggir jalan gitu. Kalau sewa L 300 dari kota Fakfak ke Kokas Rp 400.000 sampai Rp 500.000, tergantung tawar menawar. Bisa diisi 8-10 orang. Kalau naik taksi umum tinggal ke terminal tumburuni bayar Rp 50.000 per orang udah langsung ke Kokas deh. Dari Jawa ke Fakfak langsung buking di L*** A** tanpa ambil bagasi lagi hahaha.

  2. Ditunggu lanjutan ceritanya, terimakasih sudah berkunjung ke kota kami.
    (Izin copas ya… 🙂 )
    Salam

Tinggalkan komentar