Sudah satu minggu ini saya tinggal di desa Sungai Angek, Agam, Sumatera Barat, di rumah teman saya Devi. Rumah Devi terletak di tengah persawahan yang luas, yang disekitar desanya dikelilingi perbukitan dengan hutan yang masih sangat hijau dan liar. Saking masih liarnya hutan tersebut, ketika siang hari pun kita masih bisa mendengar suara-suara siamang liar dan kicauan burung beraneka ragam. Sesuatu yang mustahil bisa kita alami di Jogja. Masyarakat di daerah ini meskipun sudah modern, masih memperhatikan dan menjaga alam sekitar dengan baik. Hutan benar-benar dijaga dengan baik dan hewan-hewan liar di dalamnya terlindungi dari perburuan liar. Terkadang saya menghabiskan waktu berjalan kaki mengitari desa ini sekedar mencuci mata melihat indahnya pemandangan dan aktivitas masyarakat sehari-hari.
Pada suatu pagi Devi mengajak kami bertualang ke sebuah gua yang berada di desanya. Tawaran yang sangat menggiurkan, saya merasa sangat excited. Tak disangka di jajaran perbukitan di desanya terdapat gua yang jarang sekali dijelajahi alias masih agak perawan. Terkadang memang ada wisatawan asing yang datang ke sini untuk menjelajahi gua tetapi hanya sedikit. Gua tersebut diberi nama gua nan panjang karena panjangnya mencapai 4km. What? 4 km? panjang sekali. Gua nan panjang sebenarnya adalah sungai panjang yang berada di perut bukit simarasok. Sungai tersebut dinamakan sungai batang agam. Gua ini memang belum dibuka untuk wisata, tetapi sehari-hari masyarakat sekitar pergi ke gua ini untuk menambang pasir dan mencari sarang burung walet menggunakan sampan kayu kecil. Kami dipandu oleh uda datuk, saudara sepupu Devi. Walaupun masih muda,ia adalah salah seorang datuk di simarasok. Menurut cerita uda datuk gua ini memakan tumbal nyawa manusia setiap tahun. Ada yang meninggal karena tenggelam tidak bisa berenang, ada pula yang kehabisan nafas. Bulu kuduk saya merinding mendengar ceritanya. Tetapi saya tetap penasaran ingin menjelajahi bagian gua ini.
Masuk ke dalam gua, kami langsung disuguhkan pemandangan indah dinding-dinding gua yang berkilauan. Satalagtit dan stalagmit yang cukup besar. Bahkan ada stalagtit besar yang berbentuk seperti kubah masjid di dinding atas gua. Di tengah-tengah air terkadang ada stalagtit atau batu besar yang menjulang dari bawah. Harus benar-benar hati-hati mendayung sampan supaya tidak tersangkut batu. Di beberapa sisinya stalagtit dan stalagmit di gua ini terlihat seperti tumpukan besar batu permata. Rasanya ingin membawanya pulang. Saya cuma melongo melihat keindahannya.Sayangnya karena hanya membawa dua kamera poket, gambar yang kami dapat tidak maksimal.
200 meter menyusuri gua sampailah kami di sumber air panas yang keluar diantara dinding-dinding gua. Kami turun dari sampan lalu berjalan kaki beberapa meter. Sumber air panas tersebut membentuk mata air tersendiri di dalam gua. Airnya hangat suam-suam kuku. Tampaknya gua di perut bukit ini mengandung cukup banyak sulfur. Terkadang penduduk setampat pergi ke sumber air panas ini karena airnya dipercaya bisa menyembuhkan penyakit kulit.
Setelah lama beristirahat di sini, kami kembali berjalan ke sampan. Sebenarnya saya penasaran ingin tahu lebih jauh bagian gua ini, tetapi karena kami benar-benar orang biasa yang sangat amatir dengan peralatan seadanya, kami memutuskan untuk kembali. Menurut saya, karena gua ini bukan merupakan gua non wisata dan masih sangat perawan, hanya expert caver saja yang bisa menjelajahi sampai ke dalam-dalamnya. Jika anda termasuk penyuka caving dan penasaran dengan gua-gua yang jarang dijelajahi, coba saja jelajahi goa yang panjangannya 4 km ini.
ihhh keren banget nih gua … bisa menjelajah gua naik sampan.
rumah di depan pintu masuk bikin tampilan jadi unik . beda dengan gua2 lainnya
Tapi sampai sekarang belum terkenal nih goa ..
Rumahnya itu kayaknya pos bersama orang-orang yang nambang pasir dan nyari sarang burung walet. Kayaknya emang ga terkenal sampai sekarang, ga tau sengaja ga dikenalkan apa ga hehehe.